JUDUL : GAJAH MADA HAMUKTI PALAPA
PENGARANG : LANGIT KRESNA HARIADI
PENERBIT : TIGA SERANGKAI
TEBAL : 690 HAL
Kisah dimulai dengan perintah Ki Ajar Padmaguna agar Branjang Ratus – anaknya –menemui bibi Sri Yendra. Dua hari kemudian di pedukuhan lain, Branjang Ratus telah menemui orang yang dimaksud dan ternyata ia mendapat perintah untuk mencuri dua benda pusaka istana yaitu lambang negara dan payung Udan Riwis.
Segenap penghuni istana terkena sirep dan dengan mudah maling itu membawa dua benda pusaka. Kerajaan pun menjadi gempar di bawah komando Gajah Mada usaha pelacakan pun dilakukan agar dua pusaka kerajaan itu dapat kembali.
Ibu Suri Gayatri memerintahkan Gajah Enggon untuk memulai penyelidikan dua benda pusaka itui dari Ujung galuh. Berdua dengan Pradhabasu, Gajah Enggon memulai perjalanan itu. selain maslah hilangnya dua pusaka itu, Majapahit juga disibukan oleh dua wilayah yang akan melakukan makar; Keta dan Sadeng.
Satu kejutan besar menunggu Gajah Enggon di Ujung Galuh. Orang yang baru saja ditemuinya disana Kiai Agal tiba-tiba saja menjodohkan dirinya dengan cucunya yang cantik Rahyi sunelok. Gajah Enggon teringat pesan dari Ibu Suri Gayatri bahwa hidupnya dimulai dari Ujung Galuh. Pernikahan pun dilakukan. Pradhabasu pun meninggalkan Gajah Enggon – tidak mau menggamggu bulan madu sahabatnya itu – dan menuju ke Keta.
Di istana, gajah Mada menyiapkan jebakan untuk para pencuri yang diyakini akan kembali mencuri pusaka Istana. Ternyata ada pihak lain yang menginginkan dua benda pusaka yang telah raib itu. ternyata sang pencuri salah satunya bernama Kiai Wirota Wiragati adalah seorang dari masa lalu Ibu suri Gayatri. Para pencuri itu berhasil meloloskan diri dari kepungan dengan ilmu yang dimiliki Ki Wirota wiragati.
Majapahit juga kedatangan tamu ratusan prajurit dari Dharmasraya Swarnabhumi di bawah pimpinan raja mereka Aditiawarman. Kedatangannya adalah untuk mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sepupunya yaitu Sri Jayanegara. Namun Pu wira pendampingnya punya maksud lain dibalik kunjungan ini. Ia ingin Aditiawarman lah yang menjadi raja di Majapahit. Aditiwarman yang semula akan tinggal lama di Majapahit ternyata mempercepat kunjungannya.
Ditempat lain Gajah Enggon dan istrinya beberapa kali terlibat bentrokan dengan utusan dari Keta yang mempunyai niat yang sama untuk merebut dua pusaka dari Branjang Ratus. Sejumlah gerakan Bhayangkara di bawah kendali Pradhabasu pun mulai menyusup ke Keta. Pemberontakan di Keta pun dapat di tumpas dengan melibatkan dua tokoh dari masa lalu untuk membujuk Ki Wirota Wiragati dan penculikan pemimpin Keta Ma Panji Keta. Semangat para prajurit Keta pun luruh dan menyerah tanpa perlawanan.
Berbeda dengan di sadeng, Gajah Mada yang baru datang harus melihat separuh pasukan Majapahit yang dikirim ke sadeng hancur berantakan oleh pasukan Gajah. Semuanya karena kecerobohan Ra Kembar yang semata-mata ingin mendapat pujian, agar dirinya disebut pahlawan. Namun bantuan tak terduga datang dari laut. Aditiawarman dengan pasukannya menyerbu dan membuat kocar-kacir pasukan gajah Sadeng dengan senjata mereka, peledak!
Di akhir cerita, semua pejabat istana berkumpul di Tatag Rambat Bale Manguntur. Hal besar disamapaikan oleh Mahapatih arya Tadah yang menyatakan dirinya pensiun. Sejumlah tokoh di calonkan oleh para pendukung namun ternyata Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa menunnjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit.
Di sinilah terjadi sumpah Palapa yang di ucapkan oleh mahapatih Gajah Mada. bahwa ia tidak akan beristirahat kalau belum berhasil menyatukan nusantara. Malamnya terjadi hujan yang sudah lama ditunggu-tunggu turun juga di istana. Gajah Enggon dan istrinya berhasil mengejar sang maling yang ternyata menuju istana. Dan ternyata sang maling itu menemui....
Lagi-lagi Spoilert ya he he he. Buku ke tiga seri gajah Mada ini menyuguhkan cerita yang membuat kita terus penasaran utuk mengikuti setiap sepak terjang setiap tokoh. Namun di buku ketiga ini aku merasa Gajah Mada kurang mendapat porsi yang lebih banyak,. Walau perannya signifikan menentukan apa yang terjadi namun nyaris lebih banyak halaman yang menguak kehidupan Gajah Enggon dan kehidupan Pradhabasu.
Dengan latar belakang pendidikan yang aku miliki terus terang agak buta soal sejarah, namun penggunaan kata Sumatera dan Kalimantan pada zaman Majapahit terasa agak janggal. Bukankah kedua pulau itu lebih pantas di sebut Swarnadwipa dan Borneo. Namun ini hanya pendapat pribadi.
Sekali lagi KLH menyajikan cerita yang luar biasa. Salut buat KLH!!!
Salam,
Raka Putra Pratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar